Kamis, 23 Desember 2010

Posted by Unknown On 12/23/2010 10:26:00 PM
Para ikhwan dan akhwat generasi muda yang selalu berjuan di jalan allah S.W.T. ane kasih beberapa hadist cinta pilihan yang mudah-mudahan bisa membantu antum-antum semua dari polemik masalah percintaan....

1. Rosullah Saw, bersabda, Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu. (HR. Al-Tirmidzi).


2. Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling berkasih sayang adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh meraa mengaduh dengan terus jaga tidak bias tidur dan merasa panas. (HR. Muslim).

Rabu, 17 November 2010

Posted by Unknown On 11/17/2010 04:18:00 PM
Amerika Serikat dan Indonesia merupakan negara yang dikenal menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan kepemerintahannya. Sistem demokrasi yang berasaskan Trias Politica John Locke adalah suatu landasan yang sama-sama dianut oleh kedua negara ini,yakni terdiri dari badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam halnya kasus di atas, penulis ingin membandingkan model kepemerintahan tersebut berdasarkan badan-badan dalam trias politica yang lebih difokuskan kepada legislatif dan eksekutif.

Rabu, 10 November 2010

Posted by Unknown On 11/10/2010 09:26:00 PM
aku merasa dunia tak seimbang lagi. dia tak bisa memadu kasih dengan waktu. banyak rahasia yang dibentangkan di atas permadani zaman. entah itu rekayasa ataukah di jalankan kemudi takdir tanpa arah yang jelas. Ku dibutakan oleh mimpiku di siang bolong, hingga mentari berseri enggan menyapa. Kenapa kepergian mentari dari dunia meninggalkan kegelapan di malam yg kelam? Tiada berkas cahaya yang nyata.
Posted by Unknown On 11/10/2010 12:48:00 PM
DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.

Senin, 01 November 2010

Posted by Unknown On 11/01/2010 12:13:00 AM


Matahari pun terlelap dalam tidurnya.
Sehelai daun mengintip dari balik tirai alam.
Setangkai hujan mengirim puisi kerinduan.
Namun hari tak berpelangi.
Karena kelam menyekapnya dalam gelap.
Saat romansa tercipta sesaat.
Karena kau hanya patuh pada gerimis
membiarkan payung hatiku menggigil.
Tanpa sehelai kasih membalut.


Minggu, 31 Oktober 2010

Posted by Unknown On 10/31/2010 11:13:00 PM

( Mohammad Alfiyan Nooryan Putera Pikoli )

Rembulan di Pelabuhan Kecil.
Bersama ombak gelisahkan samudra.
Kapal,perahu tiada berlaut.
Desir hari lari berenang.
Melewati jalur-jalur perompak harapan.
Kebuntuan kutemui di seberang pulau sana.

Posted by Unknown On 10/31/2010 10:53:00 PM
Menyapa rembulan yang bermuram durja.
Menegur bintang yang menari di tengah keramaian malam.
Menunggu sinarnya menyendiri, menepi dan menuai janji.
Meski udara yang kusentuh tak lagi bercumbu dg nafas-nafas puisi.
Kuterka namun sulit ku berkata.
Tentang cerita, cinta, dan derita.

Kenapa lirihnya alam tak ingin mengerti hati?
Berani menghinaku di hadapan dunia yg mulai tampak konyol dan lugu.
Di barisan lentera malam yang tak mengerti kelamnya jiwa.

Selasa, 14 September 2010

Posted by Unknown On 9/14/2010 01:24:00 PM
Teratai melambai dari pelupuk mentawai.
Gemulai angin meniup waktu kemarin.
Kutemui senyum berbaris syair-syair syahdu.
Berbagi tawa bersama rembulan.
Merayu gemerlap bintang di awan hitam.

Kamis, 05 Agustus 2010

Posted by Unknown On 8/05/2010 07:38:00 PM
Feminism in international relations is a broad term given to works of those scholars who have sought to bring gender concerns into the academic study of international politics. In terms of international relations (IR) theory it is important to understand that feminism is derived from the school of thought known as reflectionism.[citation needed] One of the most influential works in feminist IR is Cynthia Enloe's Bananas, Beaches and Bases (Pandora Press 1990). This text sought to chart the many different roles that women play in international politics - as plantation sector workers, diplomatic wives, sex workers on military bases etc. The important point of this work was to emphasize how, when looking at international politics from the perspective of women, one is forced to reconsider his or her personal assumptions regarding what international politics is 'all about'.
However, it would be a mistake to think that feminist IR was solely a matter of identifying how many groups of women are positioned in the international political system. From its inception, feminist IR has always shown a strong concern with thinking about men and, in particular, masculinities. Indeed, many IR feminists argue that the discipline is inherently masculine in nature. For example, in her article "Sex and Death in the Rational World of Defense Intellectuals" Signs (1988), Carol Cohn claimed that a highly masculinised culture within the defense establishment contributed to the divorcing of war from human emotion.
A feminist IR involves looking at how international politics affects and is affected by both men and women and also at how the core concepts that are employed within the discipline of IR (e.g. war, security, etc.) are themselves gendered. Feminist IR has not only concerned itself with the traditional focus of IR on states, wars, diplomacy and security, but feminist IR scholars have also emphasized the importance of looking at how gender shapes the current global political economy. In this sense, there is no clear cut division between feminists working in IR and those working in the area of International Political Economy (IPE).
Feminist IR emerged largely from the late 1980s onwards. The end of the Cold War and the re-evaluation of traditional IR theory during the 1990s opened up a space for gendering International Relations. Because feminist IR is linked broadly to the critical project in IR, by and large most feminist scholarship has sought to problematise the politics of knowledge construction within the discipline - often by adopting methodologies of deconstructivism associated with postmodernism/poststructuralism. However, the growing influence of feminist and women-centric approaches within the international policy communities (for example at the World Bank and the United Nations) is more reflective of the liberal feminist emphasis on equality of opportunity for women.

References

Posted by Unknown On 8/05/2010 07:36:00 PM
 Marxist and Neo-Marxist international relations theories are paradigms which reject the realist/liberal view of state conflict or cooperation, instead focusing on the economic and material aspects. It purports to reveal how the economic trumps other concerns, which allows for the elevation of class as the focus of the study. Marxists view the international system as an integrated capitalist system in pursuit of capital accumulation. Thus, the period of colonialism brought in sources for raw materials and captive markets for exports, while decolonialization brought new opportunities in the form of dependence.  Marxist theories receive scant attention in the United States where even moderate socialist and social democratic parties lack mainstream political influence. Throughout Africa, Latin America, South & East Asia, and some parts of Europe, Marxist and other theories are more incorporated into political and social discourse.

Criticisms

Realists and liberals criticize Marxist theories for being outdated particularly after the dissolution of the Soviet Union at the end of the Cold War. Postpositivists disagree with Marxists' elevation of class as the most important aspect.
Posted by Unknown On 8/05/2010 07:11:00 PM
In the study of international relations, neoliberalism refers to a school of thought which believes that nation-states are, or at least should be, concerned first and foremost with absolute gains rather than relative gains to other nation-states. This theory is often mistaken with neoliberal economic ideology, although both use some common methodological tools, such as game theory.

Activities of the International System

Neoliberal international relations thinkers often employ game theory to explain why states do or do not cooperate;[1] since their approach tends to emphasize the possibility of mutual wins, they are interested in institutions which can arrange jointly profitable arrangements and compromises.
Neoliberalism is a response to Neorealism; while not denying the anarchic nature of the international system, neoliberals argue that its importance and effect has been exaggerated. The neoliberal argument is focused on the neorealists' underestimation of "the varieties of cooperative behavior possible within... a decentralized system."[2] Both theories, however, consider the state and its interests as the central subject of analysis; Neoliberalism may have a wider conception of what those interests are.
Neoliberalism argues that even in an anarchic system of autonomous rational states, cooperation can emerge through the building of norms, regimes and institutions.
In terms of the scope of international relations theory and foreign interventionism, the debate between Neoliberalism and Neorealism is an intra paradigm one, as both theories are positivist and focus mainly on the state system as the primary unit of analysis.

Development

Robert Keohane and Joseph Nye are considered the founders of the neoliberal school of thought; Keohane's book After Hegemony is a classic of the genre. Another major influence is the hegemonic stability theory of Stephen Krasner, Charles P. Kindleberger, and others.

Contentions

Keohane and Nye

Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, in response to neorealism, develop an opposing theory they dub "Complex interdependence." Robert Keohane and Joseph Nye explain, “…complex interdependence sometime comes closer to reality than does realism.”[3] In explaining this, Keohane and Nye cover the three assumptions in realist thought: First, states are coherent units and are the dominant actors in international relations; second, force is a usable and effective instrument of policy; and finally, the assumption that there is a hierarchy in international politics.[4]
The heart of Keohane and Nye’s argument is that in international politics there are, in fact, multiple channels that connect societies exceeding the conventional Westphalian system of states. This manifests itself in many forms ranging from informal governmental ties to multinational corporations and organizations. Here they define their terminology; interstate relations are those channels assumed by realists; transgovernmental relations occur when one relaxes the realist assumption that states act coherently as units; transnational applies when one removes the assumption that states act coherently. It is through these channels that political exchange occurs, not through the limited interstate channel as championed by realists.
Secondly, Keohane and Nye argue that there is not, in fact, a hierarchy among issues, meaning that not only is the martial arm of foreign policy not the supreme tool by which to carry out a states agenda, but that there are a multitude of different agendas that come to the forefront. The line between domestic and foreign policy becomes blurred in this case, as realistically there is no clear agenda in interstate relations.
Finally, the use of military force is not exercised when complex interdependence prevails. The idea is developed that between countries in which a complex interdependence exists, the role of the military in resolving disputes is negated. However, Keohane and Nye go on to state that the role of the military is in fact important in that "alliance’s political and military relations with a rival bloc."

Lebow

Richard Ned Lebow states that the failure of neorealism lies in its “institutionalist” ontology, whereas the neorealist thinker Kenneth Waltz states, “the creators [of the system] become the creatures of the market that their activity gave rise to.” This critical failure, according to Lebow, is due to the realists’ inability “to escape from the predicament of anarchy.” Or rather, the assumption that states do not adapt and will respond similarly to similar constraints and opportunities.[5]

Mearsheimer

Norman Angell, a classical London School of Economics liberal, had held: "We cannot ensure the stability of the present system by the political or military preponderance of our nation or alliance by imposing its will on a rival."[6]
Keohane and Lisa L. Martin expound upon these ideas in the mid 1990s as a response to John J. Mearsheimer’s “The False Promise of International Institutions,” where Mearsheimer purports that, “institutions cannot get states to stop behaving as short-term power maximizers.”[7] In fact Mearsheimer’s article is a direct response to the liberal-institutionalist movement created in response to neo-realism. The central point in Keohane and Martin’s idea is that neo-realism insists that, “institutions have only marginal effects…[which] leaves [neo-realism] without a plausible account of the investments that states have made in such international institutions as the EU, NATO, GATT, and regional trading organizations.”[8] This idea is in keeping with the notion of complex interdependence. Moreover, Keohane and Martin argue that the fact that international institutions are created in response to state interests, that the real empirical question is “knowing how to distinguish the effects of underlying conditions from those of the institutions themselves.”[9]
Mearsheimer, however, is concerned with ‘inner-directed’ institutions, which he states, “seek to cause peace by influencing the behavior of the member states.” In doing so he dismisses Keohane and Martin’s NATO argument in favor of the example of the European Community (EC) and the International Energy Agency. According to Mearsheimer, the NATO argument is an alliance and is interested in “an outside state, or coalition of states, which the alliance aims to deter, coerce, or defeat in war.” Mearsheimer reasons that since NATO is an alliance it has special concerns. He concedes this point to Keohane and Martin.[10]
Mearsheimer attacks Martin’s research on the EC, particularly her argument on Argentine sanctions by Britain during the Falklands war, which were affected by Britain’s linking of issues in context of the EC. Mearsheimer purports that the United States was not a member of the EC and yet the US and Britain managed to cooperate on sanctions, effectively creating an ad hoc alliance which effected change in its member states.

References

  1. ^ KEOHANE, Robert O. - After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, Princeton, 1984
  2. ^ Evans, Graham. The Penguin Dictionary of International Relations. London: Penguin Books. 
  3. ^ Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, Power and Interdependence: World Politics in Transition (Boston: Little, Brown and Company, 1977): 23.
  4. ^ Ibid., 23-24.
  5. ^ Waltz, 90; quoted in Richard Ned Lebow, “The long peace, the end of the cold war, and the failure of realism,” International Organization, 48, 2 (Spring 1994), 273
  6. ^ Norman Angell, The Great Illusion, (1909) cited from 1933 ed. (New York: G.P. Putnam’s Sons),p. 137.
  7. ^ John J. Mearsheimer, “A Realist Reply,” International Security 20, no. 1 (Summer 1995): 82.
  8. ^ Robert O. Keohane and Lisa L. Martin, “The Promise of Institutionalist Theory,” International Security 20, no. 1 (Summer 1995), 47.
  9. ^ Ibid.
  10. ^ Mearsheimer, 83-87.
Posted by Unknown On 8/05/2010 07:07:00 PM
Liberalism holds that state preferences, rather than state capabilities, are the primary determinant of state behavior. Unlike realism where the state is seen as a unitary actor, liberalism allows for plurality in state actions. Thus, preferences will vary from state to state, depending on factors such as culture, economic system or government type. Liberalism also holds that interaction between states is not limited to the political (high politics), but also economic (low politics) whether through commercial firms, organizations or individuals. Thus, there are plenty of opportunities for cooperation and broader notions of power, such as cultural capital (for example, the influence of American films leading to the popularity of American culture and creating a market for American exports worldwide). Another assumption is that absolute gains can be made through co-operation and interdependence - thus peace can be achieved.
Many different strands of liberalism have emerged; some include commercial liberalism, liberal institutionalism, idealism, and regime theory. Two forms of liberalism predominate, liberal institutionalism and idealism:
The former suggests that with the right factors, the international system provides opportunities for cooperation and interaction. Examples include the successful integration of Europe through the European Union or regional blocs and economic agreements such as ASEAN or the North American Free Trade Agreement (NAFTA). Ramifications of this view are that if states cannot cooperate, they ought to be curbed, whether through economic sanctions or military action. For example, before the invasion of Iraq by the United States and United Kingdom in 2003, the governments' claims that Iraq possessed weapons of mass destruction could be seen as claims that Iraq is a bad state that needs to be curbed rather than an outright danger to American or European security. Thus, the invasion could be seen as curbing a bad state under liberal institutionalism. A variant is Neo-liberal institutionalism (USA) which shifts back to a state-centric approach, but allows for pluralism through identifying and recognizing different actors, processes and structures.
Neo-liberal institutionalism holds a view to promote a more peaceful world order through international organizations or IGOs; for example, through the United Nations (UN).
The precursor to liberal international relations theory was "idealism". Idealism (or utopianism) was a term applied in a critical manner by those who saw themselves as 'realists', for instance E. H. Carr.[16] Idealism in international relations usually refers to the school of thought personified in American diplomatic history by Woodrow Wilson, such that it is sometimes referred to as "Wilsonianism." Idealism holds that a state should make its internal political philosophy the goal of its foreign policy. For example, an idealist might believe that ending poverty at home should be coupled with tackling poverty abroad. Wilson's idealism was a precursor to liberal international relations theory, which would arise amongst the "institution-builders" after World War II.
Liberalism holds that state preferences, rather than state capabilities, are the primary determinant of state behavior. Unlike realism, where the state is seen as a unitary actor, liberalism allows for plurality in state actions. Thus, preferences will vary from state to state, depending on factors such as culture, economic system or government type. Liberalism also holds that interaction between states is not limited to the political/security ("high politics"), but also economic/cultural ("low politics") whether through commercial firms, organizations or individuals. Thus, instead of an anarchic international system, there are plenty of opportunities for cooperation and broader notions of power, such as cultural capital (for example, the influence of films leading to the popularity of the country's culture and creating a market for its exports worldwide). Another assumption is that absolute gains can be made through co-operation and interdependence—thus peace can be achieved.
The democratic peace theory argues that liberal democracies have never (or almost never) made war on one another and have fewer conflicts among themselves. This is seen as contradicting especially the realist theories and this empirical claim is now one of the great disputes in political science. Numerous explanations have been proposed for the democratic peace. It has also been argued, as in the book Never at War, that democracies conduct diplomacy in general very differently from nondemocracies. (Neo)realists disagree with Liberals over the theory, often citing structural reasons for the peace, as opposed to the state's government. Sebastian Rosato, a critic of democratic peace theory points to America's behavior towards left-leaning democracies in Latin America during the Cold War to challenge democratic peace.[17] One argument is that economic interdependence makes war between trading partners less likely.[18] In contrast realists claim that economic interdependence increases rather than decreases the likelihood of conflict.[19]

References

  1. ^ Brian C. Schmidt, The political discourse of anarchy: a disciplinary history of international relations, 1998, p.219
  2. ^ Rosato, Sebastian, The Flawed Logic of Democratic Peace Theory, American Political Science Review, Volume 97, Issue 04, November 2003, pp.585-602
  3. ^ Copeland, Dale, Economic Interdependence and War: A Theory of Trade Expectations, International Security, Vol. 20, No. 4 (Spring, 1996), pp.5-41
  4. ^ Ibid p.5
Posted by Unknown On 8/05/2010 06:54:00 PM
Realism, also known as political realism (see also Realpolitik), is a school of international relations that prioritizes national interest and security over ideology, moral concerns and social reconstructions. This term is often synonymous with power politics.
Realist theories share the following key assumptions:
  • The international system is in a constant state of anarchy. There is no actor above states capable of regulating their interactions; states must arrive at relations with other states on their own, rather than it being dictated to them by some higher controlling entity.
  • In pursuit of national security, states strive to attain as many resources as possible.
  • States are rational unitary actors each moving towards their own national interest. There is a general distrust of long-term cooperation or alliance.
  • The overriding 'national interest' of each state is its national security and survival.
  • Relations between states are determined by their levels of power derived primarily from their military and economic capabilities.
  • The interjection of morality and values into international relations causes reckless commitments, diplomatic rigidity, and the escalation of conflict.
  • Sovereign states are the principal actors in the international system and special attention is afforded to large powers as they have the most influence on the international stage. International institutions, non-governmental organizations, multinational corporations, individuals and other sub-state or trans-state actors are viewed as having little independent influence.
In summary, realists believe that mankind is not inherently benevolent but rather self-centered and competitive. This perspective, which is shared by theorists such as Thomas Hobbes, views human nature as egocentric (not necessarily selfish) and conflictual unless given the right conditions under which they can coexist, contrasts with the approach of liberalism to international relations. Further, they believe that states are inherently aggressive (offensive realism) and/or obsessed with security (defensive realism); and that territorial expansion is only constrained by opposing power(s). This aggressive build-up, however, leads to a security dilemma where increasing one's security can bring along even greater instability as the opponent(s) builds up its own arms in response. Thus, security becomes a zero-sum game where only relative gains can be made. There are no universal principles which all states can use to guide their actions. Instead, a state must always be aware of the actions of the states around it and must use a pragmatic approach to resolve the problems that arise.

Historic antecedents

While Realism as a formal discipline in international relations did not arrive until World War II, its primary assumptions have been expressed in earlier writings[1][2]:

Thucydides author of The Peloponnesian War is considered one of the earliest "realist" thinkers.[7]

Classical realism

Classical realism states that it is fundamentally the nature of man that pushes states and individuals to act in a way that places interests over ideologies. Classical realism is defined as the “drive for power and the will to dominate [that are] held to be fundamental aspects of human nature” [3]
Modern realism began as a serious field of research in the United States during and after World War II. This evolution was partly fueled by European war migrants like Hans Morgenthau.
Modern realist statesmen
The ideas behind George F. Kennan's work as a diplomat and diplomatic historian remains relevant to the debate over American foreign policy, which since the 19th century has been characterized by a shift from the Founding Fathers' realist school to the idealistic or Wilsonian school of international relations. In the realist tradition, security is based on the principle of a balance of power and the reliance on morality as the sole determining factor in statecraft is considered impractical. According to the Wilsonian approach, on the other hand, the spread of democracy abroad as a foreign policy is key and morals are universally valid. During the Presidency of Bill Clinton, American diplomacy reflected the Wilsonian school to such a degree that those in favor of the realist approach likened Clinton's policies to social work. According to Kennan, whose concept of American diplomacy was based on the realist approach, such moralism without regard to the realities of power and the national interest is self-defeating and will lead to the erosion of power, to America's detriment.[7]

Criticisms

Democratic peace

Democratic peace theory advocates also that Realism is not applicable to democratic states' relations with each another, as their studies claim that such states do not go to war with one another. However, Realists and proponents of other schools have critiqued both this claim and the studies which appear to support it, claiming that its definitions of 'war' and 'democracy' must be tweaked in order to achieve the desired result. This is along with Archaic rule of law.

Federalism

The term refers to the theory or advocacy of federal political orders, where final authority is divided between sub-units and a centre. Unlike a unitary state, sovereignty is constitutionally split between at least two territorial levels so that units at each level have final authority and can act independently of the others in some area. Citizens thus have political obligations to two authorities. The allocation of authority between the sub-unit and centre may vary. Typically the centre has powers regarding defence and foreign policy, but sub-units may also have international roles. The sub-units may also participate in central decision-making bodies.
The basic idea behind federalism is that a unifying relationship between states should be established under a common system of law. Conflict and disagreement should be resolved through peaceful means rather than through coercion or war. Its most important aspect is in recognizing that different types of institutions are needed to deal with different types of political issues.

Post-realism

Post-realism suggests that Realism is a form of social scientific and political rhetoric. It opens rather than closes a debate about what is real and what is realistic in international relations

References

  1. ^ Political Realism, Internet Encyclopedia of Philosophy
  2. ^ see also Doyle, Michael. Ways of War and Peace: Realism, Liberalism, and Socialism (Paperback). 1997. London: W. W. Norton & Company, esp. pp. 41-204
  3. ^ Baylis, J & Smith, S & Ownes, P, The globalization of world politics, Oxford university press, USA, pg. 95
  4. ^ a b Gideon Rose, "Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy", World Politics, Vol. 51, No. 1, pp. 144-172
  5. ^ Randall L. Schweller, "The Progressiveness of Neoclassical Realism", pp. 311-347 in Colin Elman and Miriam Fendius Elman eds., Progress in International Relations Theory, (Cambridge, Mass.: MIT Press, 2003)
  6. ^ But see Kahler, Miles. Rationality in International Relations International Organization, Vol. 52, No. 4, International Organization at Fifty: Exploration and Contestation in the Study of World Politics (Autumn, 1998), pp. 919-941 © 1998 MIT Press.
  7. ^ Richard Russell, "American Diplomatic Realism: A Tradition Practised and Preached by George F. Kennan," Diplomacy and Statecraft, Nov 2000, Vol. 11 Issue 3, pp 159-83
Posted by Unknown On 8/05/2010 06:36:00 PM
The study of International relations as theory can be traced to E.H. Carr's "The Twenty Years Crisis" which was published in 1939 and to Hans Morgenthau's "Politics Among Nations" published in 1948.[4] International relations as a discipline is believed to have emerged after the First World War with the establishment of a Chair of International Relations at the University of Wales, Aberystwyth.[5] Early international relations scholarship in the Interwar years focused on the need for the balance of power system to be replaced with a system of collective security. These thinkers were later described as "Idealists".[6] The leading critique of this school of thinking was the "realist" analysis offered by Carr.International relations theory attempts to provide a conceptual framework upon which international relations can be analyzed.[1] Ole Holsti describes international relations theories act as a pair of coloured sunglasses, allowing the wearer to see only the salient events relevant to the theory. An adherent of realism may completely disregard an event that a constructivist might pounce upon as crucial, and vice versa. The three most popular theories are realism, liberalism and constructivism.[2]
International relations theories can be divided into "positivist/rationalist" theories which focus on a principally state-level analysis, and "post-positivist/reflectivist" ones which incorporate expanded meanings of security, ranging from class, to gender, to postcolonial security. Many often conflicting ways of thinking exist in IR theory, including constructivism, institutionalism, Marxism, neo-Gramscianism, and others. However, two positivist schools of thought are most prevalent: realism and liberalism; though increasingly, constructivism is becoming mainstream[3] and postpositivist theories are increasingly popular, particularly outside the United States.

References

  1. ^ http://www.irtheory.com/
  2. ^ Snyder, Jack, 'One World, Rival Theories, Foreign Policy, 145 (November/December 2004), p.52
  3. ^ Reus-Smit, Christian. "Constructivism." Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], pp.209, 216. Palgrave, 2005.
  4. ^ Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.1. Palgrave, 2005.
  5. ^ Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.6. Palgrave, 2005.
  6. ^ Burchill, Scott and Linklater, Andrew "Introduction" Theories of International Relations, ed. Scott Burchill ... [et al.], p.7. Palgrave, 2005.
Posted by Unknown On 8/05/2010 04:27:00 PM
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.


Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi". (Dari Berbagai Sumber)
Posted by Unknown On 8/05/2010 04:16:00 PM
Dramawan dan penyair besar Inggris William Shakespeare dilahirkan tahun 1564 di Stratford-on-Avon, Inggris. Tampaknya dia peroleh pendidikan dasar yang lumayan tetapi tak sampai injak perguruan tinggi. Shakespeare kawin di umur delapan belas (istrinya umur dua puluh enam), beranak tiga sebelum umurnya mencapai dua puluh satu.

Beberapa tahun kemudian, dia pergi ke London, menjadi anak panggung dan penulis drama. Tatkala usianya mencapai tiga puluh Shakespeare sudah menunjukkan keberhasilan. Dan tatkala umurnya menginjak tiga puluh empat, dia sudah jadi orang berduit dan dianggap penulis drama Inggris terkemuka. Sepuluh tahun kemudian, dia sudah membuahkan karya-karya besar seperti Julius Caesar, Hamlet, Othello, Macbeth dan King Lear.

Dalam jangka waktu dua puluh tahun yang punya makna khusus Shakespeare tinggal di London itu, istrinya tetap tinggal di Stratford. Shakespeare mati di tahun 1616 pada sekitar ulangtahunnya yang ke-52. Dia tidak punya keturunan yang hidup.

Ada 38 drama terkenal ciptaan Shakespeare termasuk beberapa drama kecil yang mungkin digarap bersama orang lain. Selain itu, dia menulis sejumlah 154 sonata dan 3 atau 4 sajak-sajak panjang.

Ditilik dari kegeniusan Shakespeare, hasilnya dan kemasyhurannya yang memang sudah sewajarnya, mungkin timbul kesan aneh apa sebab namanya tidak ditempatkan di urutan lebih atas dalam daftar buku ini. Saya menempatkan Shakespeare begitu rendah bukan lantaran saya tidak menghargai daya hasil seninya, tetapi semata-mata karena saya yakin bahwa pada umumnya kesusasteraan atau tokoh-tokoh seniman tidaklah punya pengaruh besar dalam sejarah.

Kegiatan pemuka-pemuka agama, ilmuwan, politikus, para penyelidik, filosof, para pecipta lebih sering berpengaruh terhadap pelbagai bidang kehidupan manusia. Misalnya, kemajuan ilmu punya pengaruh besar terhadap peri kehidupan ekonomi dan politik, dan juga berpengaruh terhadap kepercayaan agama, sifat filosofis dan perkembangan seni.

Tetapi, seorang pelukis masyhur, kendati dia punya pengaruh besar terhadap pelukis lain, tidaklah punya pengaruh apa-apa terhadap perkembangan musik dan kesusasteraan, konon pula terhadap ilmu pengetahuan, atau bidang penyelidikan. Hal serupa berlaku pula untuk bidang-bidang sajak, drama dan musik. Walhasil, secara umum bisalah dibilang, pengaruh seniman itu cuma menyentuh bidang seni, bahkan terbatas pada bagian-bagian seni tertentu. Oleh sebab itu, tak ada tokoh kesusasteraan, musik atau seni lain yang diletakkan di atas urutan No. 30, malahan hanya sedikit sekali yang ditampilkan dalam buku ini.

Kalau demikian halnya, mengapa masih ada juga seniman yang termasuk daftar? Jawabnya ialah, kesenangan terhadap seni merupakan bagian langsung (meski tidak selalu merupakan bagian pokok) dalam kehidupan individu. Dengan kata lain, seseorang bisa menyediakan sebagian dari waktunya mendengarkan musik, sebagian membaca buku, sebagian memandang lukisan dan sebagainya. Bahkan apabila waktu yang kita habiskan untuk mendengarkan musik tak punya pengaruh terhadap kegiatan kita lainnya (ini tentu saja sesuatu yang dilebih-lebihkan) toh waktu itu tetap merupakan hal yang penting dalam hidup kita.

Tentu saja pribadi seorang seniman bisa saja punya pengaruh terhadap kehidupan kita lebih dari sekedar waktu yang kita habiskan untuk mendengarkan musik, membaca buku atau menikmati hasil karya mereka. Ini lantaran karyanya telah mempengaruhi begitu rupa baiknya karya seniman lain yang hasilnya kita senangi.

Dalam beberapa hal, kerja artistik sedikit banyak punya makna filosofis yang dapat mempengaruhi sikap kita dalam bidang masalah lain. Ini tentu saja terjadi lebih kerap dalam hal yang berkaitan dengan kesusasteraan ketimbang dengan musik atau lukisan. Misalnya, dalam Romeo and Juliet (Act III, scene 1) Shakespeare menulis ucapan sang pangeran “Mercy but murders, pardoning those that kill,” jelas menyuguhkan suatu ide (lepas orang terima atau tidak) yang punya makna filosofis dan lebih punya pengaruh politis ketimbang, katakanlah, memandang lukisan “Mona Lisa.”

Kelihatannya tak ragu lagi Shakespeare mengungguli semua tokoh-tokoh sastra. Relatif, sedikit sekali sekarang ini orang baca karya Chaucer, Virgil atau bahkan Homer, kecuali jika karya mereka itu jadi ketentuan bacaan sekolah. Tetapi, pementasan sebuah karya Shakespeare pastilah dapat sambutan. Kelebihan Shakespeare dalam hal perangkuman bait-bait betul-betul tak tertandingkan dan kalimat-kalimatnya sering dikutip, bahkan oleh orang yang tak pernah barang sekali pun melihat atau membaca dramanya. Lebih dari itu, nyata benar betapa ketenarannya bukanlah sekedar sepintas lintas. Karyanya menyuguhkan kebahagian kepada pembacanya dan penontonnya selama hampir empat abad. Karena karya-karya itu sudah mantap teruji jaman, adalah pantas menganggap bahwa karya Shakespeare akan terus tenar berabad-abad mendatang.

Dalam hal menentukan arti penting Shakespeare orang harus memperhitungkan andaikata dia tak pernah hidup di dunia, drama-dramanya tak akan pernah ditulis orang samasekali. Tentu saja, sampai batas tertentu, pernyataan serupa dapat diberikan kepada tiap tokoh artis atau sastra. Namun, faktor itu tampaknya tidak begitu punya arti penting khusus dalam penilaian terhadap bobot pengaruh yang ada pada seniman-seniman ukuran kecil.

Kendati Shakespeare menulis dalam bahasa Inggris, dia betul-betul tokoh yang dikenal seseluruh dunia. Jika bukannya suatu bahasa yang teramat universal, bahasa Inggris adalah paling mendekati ukuran itu ketimbang bahasa-bahasa lain yang pernah ada. Lagi pula, karya Shakespeare sudah diterjemahkan secara luas dan karyanya dibaca dan dipentaskan di pelbagai negeri.

Ada tentu saja beberapa penulis tenar yang karyanya dikecam oleh kritikus-kritikus seni. Tidaklah demikian halnya pada Shakespeare yang karyanya dihargai tanpa cadangan oleh para ahli sastra. Generasi-generasi penulis drama mempelajari karyanya dan mencoba meniru sebaik atau mengunggulinya. Gabungan antara pengaruh yang amat besar terhadap para pengarang dan ketenaran yang tak berkeputusan di kalangan masyarakatlah yang menempatkan Shakespeare di urutan cukup tinggi dalam daftar buku ini.

WILLIAM SHAKESPEARE 1564-1616

Diambil dari:
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
oleh Michael H. Hart, 1978
Posted by Unknown On 8/05/2010 04:14:00 PM
Shalahuddin Al-Ayubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi.


Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.

Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).

Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.

Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third Crusade.

Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.

Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Setahun berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya.


Data lengkap tentang King Salahudin Al-Ayubi
Memerintah 1174 M. – 4 Maret-1193 M.
Dinobatkan 1174 M.
Nama lengkap Yusuf Ayyubi
Lahir 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal 4 Maret-1193 M. di Damaskus, Syria
Dimakamkan Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu Nuruddin Zengi
Pengganti Al-Aziz
Dinasti Ayyubid
Ayah Najmuddin Ayyub


Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin atau Saladin/salahadin mendapat reputasi besar di kaum Kristen Eropa, kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.

Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti tak
ingin menengoknya. Bahkan di salah satu tembok Masjid
Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang
dipermak jadi masjid yang indah di tahun 700-an itu, seorang
sejarawan masih menemukan sisa inskripsi ini: "Kerajaan-Mu, ya,
Kristus, adalah kerajaan abadi...."

Tapi jika masa lalu tak mudah pergi, dari bagian manakah dari
Saladin yang akan datang kepada kita kini? Dari ruang makamnya
yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan? Kisah Saladin
adalah kisah peperangan. Dari zamannya kita dengar cerita
dahsyat bagaimana agama-agama telah menunjukkan
kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian dan ilham
pengorbanan - yang kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.

Tapi sebagian besar kisah Saladin - yang tersebar baik di Barat
maupun di Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad
ke- 12 itu - adalah juga cerita tentang seorang yang pemberani
dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan
darah. Saladin merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187.
Tapi menjelang serbuan, ia beri kesempatan penguasa Kristen
kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan
pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu
akhirnya kalah juga, yang dilakukan Saladin bukanlah menjadikan
penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah membebaskan
sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun
1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut
Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa
orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.

"Anakku," konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya,
az-Zahir, menjelang wafat, "...Jangan tumpahkan darah... sebab
darah yang terpercik tak akan tertidur."

Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang
tampaknya dilakukan Saladin. Meskipun tak selamanya ia tanpa
cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan, kita
toh tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada Raja Richard
Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya.
Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya
buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter.
Lalu perdamaian pun ditandatangani, 1 September 1192, dan
pesta diadakan dengan pelbagai pertandingan, dan orang Eropa
takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.

Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa
melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang hanya
mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari
abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah
zaman yang penuh peperangan. Tapi pentingkah sebenarnya
masa silam?

Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu hari di
tahun 1970-an, saya kembali ke pusat Damaskus, lewat lorong
bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh,
keriuhan yang mungkin tanpa sejarah.

l9 Januari 1991

(Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Grafiti, 1995, h.
388-390)

Ref : http://yulian.firdaus.or.id/
http://m0emets.blogspot.com/2007/11/salahudin-al-ayubi.html
Posted by Unknown On 8/05/2010 04:13:00 PM
Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.



Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Ref : http://prasetyaade.blogspot.com/2006/12/presiden-soekarno-presiden-pertama.html
http://yulian.firdaus.or.id/2004/12/16/soe-hok-gie/
http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie