Jumat, 04 Januari 2013

Posted by Unknown On 1/04/2013 02:10:00 PM

Francis Fukuyama, seorang pemikir Amerika dalam hampir tiga dekade yang lalu memberikan pernyataan bahwa umat manusia saat ini telah memasuki zaman “The End of Ideology”. Dalam memahami konteks zaman seperti itu beberapa tokoh sosial Indonesia mulai mengamini hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan tanpa upaya kritis untuk memaknainya. Jika melihat ke belakang, hampir bisa dipastikan kebangkitan negara-negara besar di dunia juga merupakan sebuah kebangkitan Ideologi pada sekitaran abad 20an. Uni Soviet dengan "Marxisme, Materialisme-Historis", China dengan "Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme", Jepang dengan "Tennoo Koodoo Seishin", dan Jerman dengan "Sosialisme Nasional". Banyak yang beranggapan bahwa keruntuhan ideologi masing-masing bangsa akan terjadi. Bangsa akan menggadaikan ideologinya sendiri demi sebuah pragmatisme kapital yang kemudian dianggap sah secara konstitusi. Ideologi sebagai rangkaian gagasan dan nilai terkait masyarakat yang dicita-citakan bersama, tentu akan terus ada. Mungkin ada beberapa artefak budaya mengalami kepunahan ataupun musnah ditelan masa, akan tetapi sesungguhnya gagasan-gagasan dan nilai-nilai terkait dengan masyarakat yang dicita-citakan bersama itu bermetamorfosa dalam rumusan, bentuk, wujud dan karakter simbolik yang berbeda. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari asumsi bahwa ideologi akan berakhir dengan ketiadaan perang ideologi, merupakan salah satu bentuk agitasi ideologis agar kita menyerah kepada ideologi asing yang dengan berbagai alat ideologisnya secara pelan dan pasti merasuki cara berpikir, bersikap, dan bertindak rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah gemuruh perubahan yang terjadi pada generasi bangsa tanpa hiruk pikuk dan gegap gempitanya letusan senjata.

Konstruksi Nasionalisme Indonesia
Momentum Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni dianggap sebagai momentum yang sakral bagi penduduk Indonesia karena pada saat itulah identitas nasionalisme Indonesia mulai dikonstruksikan sebagai ideologi bersama. Hal ini dianggap menjadi idealisme yang sejatinya bisa merekatkan berbagai elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia, baik itu meliputi budaya, bahasa, suku, ras maupun agama. Realitas yang berkembang pada zaman sekarang mulai bertentangan dengan idealitas masa lalu. Adanya kontradiksi yang sengaja dibenturkan sebagai wadah pengeliminasian jati diri bangsa. Konstruksi pemahaman nilai-nilai nasionalisme digerus habis oleh hadirnya tawaran ideologi dunia yang mengarah pada aktivitas globalisasi sehingga mengantarkan penduduk Indonesia pada proses alienasi ideologi Pancasila yang sebenarnya.
Konsep Pancasila dengan kredo “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetap satu” telah dianggap sebagai sebuah manifestasi nyata idealisme Bangsa yang mengarah pada nasionalisme. Realitasnya Nasionalisme dari hari ke hari dirasakan semakin absurd. Absurditas ideologi memang tidak hanya menerpa nasionalisme. Namun, hanya nasionalismelah yang sejak kelahirannya mengandung kontradiksi, kontroversi dan ironi. Harus diakui secara jujur, nasionalisme bukanlah ideologi yang dilahirkan dari Bangsa Indonesia. Ideologi itu pertamakali muncul dari kawasan Eropa Barat. Pada awal kemunculannya, nasionalisme selalu dikaitkan dengan pencerahan yang melatarbelakangi hadirnya negara bangsa modern, namun dalam perjalanannya, gagasan itu justru membawa kegelapan bagi bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Selatan ketika kehadirannya bermanifestasi dalam wujud kolonialisme-imperialisme. Indonesia sebagai negara-bangsa yang juga telah didewasakan oleh proses kolonialisme-imperialisme. Konspirasi besar antara penjajah kolonial dan penguasa feodal pribumi telah memberikan jalan gelap yang panjang bagi penduduk Indonesia pada zaman itu. Semangat dan gagasan nasionalisme saat itu menjadi senjata ampuh untuk melucuti kekuatan penjajah kolonial di tanah nusantara. Kendati eksistensi Pancasila sempat diperdebatkan (bahkan sempat dilupakan) sebagai suatu ‘kekuatan’ dan ‘pemersatu’ nilai-nilai nasionalisme anak bangsa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini, namun faktanya Pancasila tetap saja diharapkan sebagai kekuatan baru mempersatukan bangsa yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan arah.
Melihat fenomena kolonialisme-imperialisme yang melanda Indonesia, bisa dipastikan hadirnya nasionalisme sebagai merupakan sebuah ideologi perlawanan terhadap hadirnya penjajah asing di Indonesia yang terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam dan memarginalkan sumber daya manusia Indonesia. Bisa dipastikan bahwa nasionalisme Indonesia mengandung muatan campur aduk antara perasaan anti asing yang oleh Nietszche dinamakan ressentiment yang direpresentasikan dalam pemerintahan kolonial, romantisme kolektif terhadap masa lalu yang agung atau diagung-agungkan serta heroisme terhadap masa depan dalam wujud cita-cita menuju kemerdekaan dan kemakmuran bersama. Dengan demikian, dapat dipahami jika Bung Karno dalam mengawali konstruksi nasionalisme Indonesia, lebih dulu berbicara tentang bangsa sebagai ikatan spiritual yang dijalin atas dasar perasaan senasib sebagai pihak terjajah serta kehendak mewujudkan kemerdekaan sebagai jalan menuju kemakmuran bersama. Dalam mengkonstruksi nasionalisme Indonesia, Bung Karno juga menyelipkan sentimen primordial dan romantisme masa silam yang pernah dimiliki sebagian komunitas rakyat. Nasionalisme yang diarahkan Soekarno dianggap mengarah pada sosialisme. Gagasan beliau  dikenal dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932, Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari sosio-nasionalisme yang ia rumuskan :
Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’.  Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata, Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”.
Dalam ungkapan tersebut bisa dianalisis bahwa nasionalisme yang dimaksudkan Soekarno merupakan sebuah ideologi bersama yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan umat bersama bukan hanya sekedar mengagung-agungkan nama Indonesia di mata Internasional, apalagi mengarah pada hal-hal yang bersifat chauvinisme.
Wajah Nasionalisme Masa Kini
Kemenangan liberalisme sebagai paham yang menduduki singgasana percaturan ideologi di dunia mulai menafikan keberadaan ideologi lain di berbagai bangsa. Proses pendistribusian dilakukan melalui sistem Kapitalisme global yang memaksa negara-negara dunia ketiga untuk tunduk pada aturan yang diberlakukan rezim internasional dengan dimotori oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Banalitas sistem dunia berusaha memperkosa jati diri bangsa negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Berbagai macam aktivitas berusaha ditawarkan mulai dari liberalisasi agama, budaya, bahasa, sistem ekonomi, konstitusi, pendidikan bahkan kesehatan. Hal ini dianggap sebagai tawaran akhir untuk mengatasi problematika suatu negara yang semakin kompleks. Negara mengalami disfungsi peran sebagai aktor pembuat kebijakan tidak lagi dipandang signifikan, melainkan berusaha diintervensi oleh pihak ketiga demi pencapaian kepentingan.
Pengaruh arus globalisasi telah menggerus aksen kebudayaan masyarakat Indonesia yang semakin memarginalkan posisi nasionalisme. Arus globalisasi yang berkembang pada era sekarang secara perlahan telah berhasil mentransfer kebudayaan asing sebagai pilihan yang paling nyaman untuk menjalankan aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia.  Masuknya budaya asing seperti budaya Korea, budaya Amerika, dan lain-lain. Seseorang dapat melihat melalui berbagai media (Televisi, Radio, Internet)  bagaimana orang-orang dan artis Korea atau Amerika berpakaian, bagaimana mereka berperilaku, dan bagaimana mereka memiliki gaya hidup tersendiri. Budaya K-Pop yang sekarang ini marak menjadi perbincangan di kalangan remaja telah berhasil menghipnotis seantero dunia dan Indonesiapun tidak ketinggalan. Di Indonesia, fenomena ketertarikan budaya Korea yang berawal dari kebiasaan menikmati hiburan K-Pop perlahan tapi pasti mulai dinikmati sebagai sebuah komposisi nyaman dalam beraktivitas sosial. Dari cara berpakaian, berdandan, berbicara menjadi trending topic di kalangan remaja Indonesia. Bahkan musik-musik dan film-film asal negeri ginseng telah berhasil menghipnotis rakyat Indonesia baik dari segi berpakaian, perawakan, maupun ketampanan dan kecantikan para artisnya. Hal ini juga berimbas pada industri musik dan perfilman. Korea mendadak menjadi kiblat industri hiburan tanah air tersebut. Musik ala korea dengan konsep boyband dan film yang bergenre romantika, hal-hal mengenai percintaan, dan kasih sayang. Hal ini membuktikan bahwa nilai besar di bangsa Indonesia telah mulai diabaikan. Minimnya film-film yang mengangkat citra kebudayaan Indonesia dan karakter film Indonesia yang cenderung monoton hanya menciptakan sikap skeptis terhadap film Indonesia. Namun, tidaklah elok jika menggunakan logika generalisasi terhadap fenomena ini karena masih ada sebagian besar penduduk Indonesia senang menikmati perfilman dalam negeri.
Percaya tidak percaya keadaan ini mengakibatkan aktivitas hedonisme generasi muda Indonesia meningkat. Pembicaraan dalam tataran sosial masyarakat berkisar pada pola kehidupan modern yang berikutnya menjadi trending adalah apa (fashionism, gadgetism dan lain-lain), bukan tentang eksistensi budaya Indonesia apalagi berbicara tentang masa depan Indonesia ke depan. Proses antipati sedang berlangsung sebagai soft movement evolution baik itu terhadap budaya lokal, politik dalam negeri bahkan kepedulian antar sesama warga negara.
Pada akhirnya warga Indonesia harus memutuskan rasa kebangsaannya untuk harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu.  Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Tapi ada sebuah trend yang nampak bahwasanya slogan-slogan nasionalisme kini hanya menjadi pengobar semangat yang semakin semu seiring semakin rasionalnya (dan mungkin juga pragmatisnya) masyarakat dunia.
Era globalisasi yang terus menggerus berbagai sisi kehidupan, paling tidak dapat diperhambat (diperluntur) sisi negatifnya dengan menjadikan Pancasila sebagai perisai dan Nasionalisme sebagai bangunan kokoh yang akan terus mempersatukan rakyat Indonesia dalam satu naungan besar kedigdayaan bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar