Jumat, 04 Januari 2013

Posted by Unknown On 1/04/2013 01:58:00 PM


Sebuah arah pemikiran politik yang berusaha ditawarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya The Prince merupakan kumpulan gagasan dari sebuah realita yang sedang berlangsung di Italia yang saat itu terdiri dari beberapa kerajaan kecil. Bisa dikatakan bahwa tuangan pemikiran Machiavelli dalam The Prince didasarkan atas situasi kacau di Italia saat itu. Sebuah pemikiran menarik yang memaksa penulis untuk mengetahui tentang ketersiratan makna sebuah legitimasi kekuasaan rakyat ala seorang Machiavelli.
Strong Political Passion (Hasrat Politik yang kuat)
Machiavelli dianggap sebagai seorang pemikir yang mengagung-agungkan militerisme menjadi jalan terbaik untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Machiavelli melihat praktek politik nyata dari suatu negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama, yang kalau perlu menggunakan kekerasan dan kekuatan (militer) untuk mempertahankan kekuasaan. Bila ada peluang dan kesempatan, maka perlu memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan merosot dan hancur karena muncul dan bangkitnya rezim baru yang datang kemudian. Bahkan Machiavelli membenarkan penggunaan kekerasan untuk menciptakan situasi kondusif dalam suatu kawasan kekuasaan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik.
Perdebatan yang menarik dari sebuah akar legitimasi kekuasaan adalah ketika Machiavelli memperbincangkan apakah seorang penguasa itu lebih baik dibenci atau dicintai. Ia mengatakan bahwa orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset. Logika “fear” yang dihadirkan oleh Machiavelli tentu bukan tidak beralasan. Hal ini tentu saja mengarah pada sebuah kecemasan penguasa bagaimana caranya untuk bisa survive dalam penetrasi politik yang bisa menggoyang kekuasaannya. Dengan demikian penggunaan force dianggap sah sebagai senjata untuk menekan sebuah cara untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas pemerintahan Negara. Pandangan Machiavelli akan sifat alamiah manusia akan ketamakan, kerakusan dan ambisi membawa pengaruh pada sistem politik dibatasi untuk terlibat pada violent struggle for domination. Otoritas politik penguasa diperlukan untuk membangun stigma fear yang lebih kuat di masyarakat.
Penulis melihat bahwa pemikiran politik Machiavelli yang berusaha dibangun cenderung memfokuskan diri pada national security yang bagi sebagian penguasa digunakan sebuah alasan untuk melegitimasi otoritas politiknya agar tetap berkuasa. Konsep national security hendak dibangun atas dasar kehidupan harmonis, aman, dan stabil dalam suatu Negara terutama untuk kepentingan rakyat. Jika pada akhirnya tatanan pemerintah membangun sebuah konsep fear murni untuk stabilitas keamanan nasional maka sistem dunia akan lebih focus pada sebuah perimbangan kekuatan (Balance of Power) untuk mewujudkan stabilitas keamanan internasional.
Akan tetapi tawaran Machiavelli dalam menggunakan kekerasan dalam mempertahankan stabilitas pemerintahan suatu Negara dengan menekan aksi mass movement demonstration tidak menjamin sebuah stabilitas, justru menjerumuskan Negara pada titik yang kacau balau seperti contoh beberapa kasus di Timur Tengah. Machiavelli tidak menawarkan sebuah solusi alternative ketika kondisi rakyat telah mencapai great mass depression. Keputusan tersebut hanya akan memakan korban banyak yang notabene rakyatnya sendiri. Pemahaman sepihak oleh penguasa dalam memahami pemikiran Machiavelli bias saja merusak citra seorang penguasa yang berujung pada depresi sosial.
Sebuah kesalahan besar jika pada akhirnya para penguasa gagal menafsirkan pemikiran Machiavelli pada konteks jaman sekarang. The Prince merupakan sebuah jawaban atas kegelisahan para raja di Italia pada waktu itu untuk menciptakan situasi kondusif dan stabil demi pencapaian pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi yang kacau balau baik dari segi politik, ekonomi, dan sosial pemikiran Machiavelli dalam The Prince menjadi sebuah kitab suci para raja karena memang dibutuhkan pada konteks jaman saat itu. Maka pada akhirnya diberlakukan pada saat sekarang dengan system dunia yang cenderung anarchy justru akan menimbulkan perpecahan dan kekacauan yang besar jika tidak benar-benar memahami pokok pikiran Machiavelli. Bahkan orang-orang cenderung mengabaikan karya Machiavelli yang berikutnya yakni Discorsi yang lebih menjawab tentang sketsa masa depan sebuah pemerintahan ideal dengan mengutamakan rakyat sebagai pemegang singgasana kekuasaan dalam pemerintahan Negara.

0 komentar:

Posting Komentar