Jumat, 04 Januari 2013

Posted by Unknown On 1/04/2013 02:10:00 PM

Francis Fukuyama, seorang pemikir Amerika dalam hampir tiga dekade yang lalu memberikan pernyataan bahwa umat manusia saat ini telah memasuki zaman “The End of Ideology”. Dalam memahami konteks zaman seperti itu beberapa tokoh sosial Indonesia mulai mengamini hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan tanpa upaya kritis untuk memaknainya. Jika melihat ke belakang, hampir bisa dipastikan kebangkitan negara-negara besar di dunia juga merupakan sebuah kebangkitan Ideologi pada sekitaran abad 20an. Uni Soviet dengan "Marxisme, Materialisme-Historis", China dengan "Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme", Jepang dengan "Tennoo Koodoo Seishin", dan Jerman dengan "Sosialisme Nasional". Banyak yang beranggapan bahwa keruntuhan ideologi masing-masing bangsa akan terjadi. Bangsa akan menggadaikan ideologinya sendiri demi sebuah pragmatisme kapital yang kemudian dianggap sah secara konstitusi. Ideologi sebagai rangkaian gagasan dan nilai terkait masyarakat yang dicita-citakan bersama, tentu akan terus ada. Mungkin ada beberapa artefak budaya mengalami kepunahan ataupun musnah ditelan masa, akan tetapi sesungguhnya gagasan-gagasan dan nilai-nilai terkait dengan masyarakat yang dicita-citakan bersama itu bermetamorfosa dalam rumusan, bentuk, wujud dan karakter simbolik yang berbeda. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari asumsi bahwa ideologi akan berakhir dengan ketiadaan perang ideologi, merupakan salah satu bentuk agitasi ideologis agar kita menyerah kepada ideologi asing yang dengan berbagai alat ideologisnya secara pelan dan pasti merasuki cara berpikir, bersikap, dan bertindak rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah gemuruh perubahan yang terjadi pada generasi bangsa tanpa hiruk pikuk dan gegap gempitanya letusan senjata.

Konstruksi Nasionalisme Indonesia
Momentum Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni dianggap sebagai momentum yang sakral bagi penduduk Indonesia karena pada saat itulah identitas nasionalisme Indonesia mulai dikonstruksikan sebagai ideologi bersama. Hal ini dianggap menjadi idealisme yang sejatinya bisa merekatkan berbagai elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia, baik itu meliputi budaya, bahasa, suku, ras maupun agama. Realitas yang berkembang pada zaman sekarang mulai bertentangan dengan idealitas masa lalu. Adanya kontradiksi yang sengaja dibenturkan sebagai wadah pengeliminasian jati diri bangsa. Konstruksi pemahaman nilai-nilai nasionalisme digerus habis oleh hadirnya tawaran ideologi dunia yang mengarah pada aktivitas globalisasi sehingga mengantarkan penduduk Indonesia pada proses alienasi ideologi Pancasila yang sebenarnya.
Konsep Pancasila dengan kredo “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetap satu” telah dianggap sebagai sebuah manifestasi nyata idealisme Bangsa yang mengarah pada nasionalisme. Realitasnya Nasionalisme dari hari ke hari dirasakan semakin absurd. Absurditas ideologi memang tidak hanya menerpa nasionalisme. Namun, hanya nasionalismelah yang sejak kelahirannya mengandung kontradiksi, kontroversi dan ironi. Harus diakui secara jujur, nasionalisme bukanlah ideologi yang dilahirkan dari Bangsa Indonesia. Ideologi itu pertamakali muncul dari kawasan Eropa Barat. Pada awal kemunculannya, nasionalisme selalu dikaitkan dengan pencerahan yang melatarbelakangi hadirnya negara bangsa modern, namun dalam perjalanannya, gagasan itu justru membawa kegelapan bagi bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Selatan ketika kehadirannya bermanifestasi dalam wujud kolonialisme-imperialisme. Indonesia sebagai negara-bangsa yang juga telah didewasakan oleh proses kolonialisme-imperialisme. Konspirasi besar antara penjajah kolonial dan penguasa feodal pribumi telah memberikan jalan gelap yang panjang bagi penduduk Indonesia pada zaman itu. Semangat dan gagasan nasionalisme saat itu menjadi senjata ampuh untuk melucuti kekuatan penjajah kolonial di tanah nusantara. Kendati eksistensi Pancasila sempat diperdebatkan (bahkan sempat dilupakan) sebagai suatu ‘kekuatan’ dan ‘pemersatu’ nilai-nilai nasionalisme anak bangsa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini, namun faktanya Pancasila tetap saja diharapkan sebagai kekuatan baru mempersatukan bangsa yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan arah.
Melihat fenomena kolonialisme-imperialisme yang melanda Indonesia, bisa dipastikan hadirnya nasionalisme sebagai merupakan sebuah ideologi perlawanan terhadap hadirnya penjajah asing di Indonesia yang terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam dan memarginalkan sumber daya manusia Indonesia. Bisa dipastikan bahwa nasionalisme Indonesia mengandung muatan campur aduk antara perasaan anti asing yang oleh Nietszche dinamakan ressentiment yang direpresentasikan dalam pemerintahan kolonial, romantisme kolektif terhadap masa lalu yang agung atau diagung-agungkan serta heroisme terhadap masa depan dalam wujud cita-cita menuju kemerdekaan dan kemakmuran bersama. Dengan demikian, dapat dipahami jika Bung Karno dalam mengawali konstruksi nasionalisme Indonesia, lebih dulu berbicara tentang bangsa sebagai ikatan spiritual yang dijalin atas dasar perasaan senasib sebagai pihak terjajah serta kehendak mewujudkan kemerdekaan sebagai jalan menuju kemakmuran bersama. Dalam mengkonstruksi nasionalisme Indonesia, Bung Karno juga menyelipkan sentimen primordial dan romantisme masa silam yang pernah dimiliki sebagian komunitas rakyat. Nasionalisme yang diarahkan Soekarno dianggap mengarah pada sosialisme. Gagasan beliau  dikenal dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932, Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari sosio-nasionalisme yang ia rumuskan :
Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’.  Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata, Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”.
Dalam ungkapan tersebut bisa dianalisis bahwa nasionalisme yang dimaksudkan Soekarno merupakan sebuah ideologi bersama yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan umat bersama bukan hanya sekedar mengagung-agungkan nama Indonesia di mata Internasional, apalagi mengarah pada hal-hal yang bersifat chauvinisme.
Wajah Nasionalisme Masa Kini
Kemenangan liberalisme sebagai paham yang menduduki singgasana percaturan ideologi di dunia mulai menafikan keberadaan ideologi lain di berbagai bangsa. Proses pendistribusian dilakukan melalui sistem Kapitalisme global yang memaksa negara-negara dunia ketiga untuk tunduk pada aturan yang diberlakukan rezim internasional dengan dimotori oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Banalitas sistem dunia berusaha memperkosa jati diri bangsa negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Berbagai macam aktivitas berusaha ditawarkan mulai dari liberalisasi agama, budaya, bahasa, sistem ekonomi, konstitusi, pendidikan bahkan kesehatan. Hal ini dianggap sebagai tawaran akhir untuk mengatasi problematika suatu negara yang semakin kompleks. Negara mengalami disfungsi peran sebagai aktor pembuat kebijakan tidak lagi dipandang signifikan, melainkan berusaha diintervensi oleh pihak ketiga demi pencapaian kepentingan.
Pengaruh arus globalisasi telah menggerus aksen kebudayaan masyarakat Indonesia yang semakin memarginalkan posisi nasionalisme. Arus globalisasi yang berkembang pada era sekarang secara perlahan telah berhasil mentransfer kebudayaan asing sebagai pilihan yang paling nyaman untuk menjalankan aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia.  Masuknya budaya asing seperti budaya Korea, budaya Amerika, dan lain-lain. Seseorang dapat melihat melalui berbagai media (Televisi, Radio, Internet)  bagaimana orang-orang dan artis Korea atau Amerika berpakaian, bagaimana mereka berperilaku, dan bagaimana mereka memiliki gaya hidup tersendiri. Budaya K-Pop yang sekarang ini marak menjadi perbincangan di kalangan remaja telah berhasil menghipnotis seantero dunia dan Indonesiapun tidak ketinggalan. Di Indonesia, fenomena ketertarikan budaya Korea yang berawal dari kebiasaan menikmati hiburan K-Pop perlahan tapi pasti mulai dinikmati sebagai sebuah komposisi nyaman dalam beraktivitas sosial. Dari cara berpakaian, berdandan, berbicara menjadi trending topic di kalangan remaja Indonesia. Bahkan musik-musik dan film-film asal negeri ginseng telah berhasil menghipnotis rakyat Indonesia baik dari segi berpakaian, perawakan, maupun ketampanan dan kecantikan para artisnya. Hal ini juga berimbas pada industri musik dan perfilman. Korea mendadak menjadi kiblat industri hiburan tanah air tersebut. Musik ala korea dengan konsep boyband dan film yang bergenre romantika, hal-hal mengenai percintaan, dan kasih sayang. Hal ini membuktikan bahwa nilai besar di bangsa Indonesia telah mulai diabaikan. Minimnya film-film yang mengangkat citra kebudayaan Indonesia dan karakter film Indonesia yang cenderung monoton hanya menciptakan sikap skeptis terhadap film Indonesia. Namun, tidaklah elok jika menggunakan logika generalisasi terhadap fenomena ini karena masih ada sebagian besar penduduk Indonesia senang menikmati perfilman dalam negeri.
Percaya tidak percaya keadaan ini mengakibatkan aktivitas hedonisme generasi muda Indonesia meningkat. Pembicaraan dalam tataran sosial masyarakat berkisar pada pola kehidupan modern yang berikutnya menjadi trending adalah apa (fashionism, gadgetism dan lain-lain), bukan tentang eksistensi budaya Indonesia apalagi berbicara tentang masa depan Indonesia ke depan. Proses antipati sedang berlangsung sebagai soft movement evolution baik itu terhadap budaya lokal, politik dalam negeri bahkan kepedulian antar sesama warga negara.
Pada akhirnya warga Indonesia harus memutuskan rasa kebangsaannya untuk harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu.  Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Tapi ada sebuah trend yang nampak bahwasanya slogan-slogan nasionalisme kini hanya menjadi pengobar semangat yang semakin semu seiring semakin rasionalnya (dan mungkin juga pragmatisnya) masyarakat dunia.
Era globalisasi yang terus menggerus berbagai sisi kehidupan, paling tidak dapat diperhambat (diperluntur) sisi negatifnya dengan menjadikan Pancasila sebagai perisai dan Nasionalisme sebagai bangunan kokoh yang akan terus mempersatukan rakyat Indonesia dalam satu naungan besar kedigdayaan bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Posted by Unknown On 1/04/2013 01:58:00 PM


Sebuah arah pemikiran politik yang berusaha ditawarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya The Prince merupakan kumpulan gagasan dari sebuah realita yang sedang berlangsung di Italia yang saat itu terdiri dari beberapa kerajaan kecil. Bisa dikatakan bahwa tuangan pemikiran Machiavelli dalam The Prince didasarkan atas situasi kacau di Italia saat itu. Sebuah pemikiran menarik yang memaksa penulis untuk mengetahui tentang ketersiratan makna sebuah legitimasi kekuasaan rakyat ala seorang Machiavelli.
Strong Political Passion (Hasrat Politik yang kuat)
Machiavelli dianggap sebagai seorang pemikir yang mengagung-agungkan militerisme menjadi jalan terbaik untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Machiavelli melihat praktek politik nyata dari suatu negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama, yang kalau perlu menggunakan kekerasan dan kekuatan (militer) untuk mempertahankan kekuasaan. Bila ada peluang dan kesempatan, maka perlu memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan merosot dan hancur karena muncul dan bangkitnya rezim baru yang datang kemudian. Bahkan Machiavelli membenarkan penggunaan kekerasan untuk menciptakan situasi kondusif dalam suatu kawasan kekuasaan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik.
Perdebatan yang menarik dari sebuah akar legitimasi kekuasaan adalah ketika Machiavelli memperbincangkan apakah seorang penguasa itu lebih baik dibenci atau dicintai. Ia mengatakan bahwa orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset. Logika “fear” yang dihadirkan oleh Machiavelli tentu bukan tidak beralasan. Hal ini tentu saja mengarah pada sebuah kecemasan penguasa bagaimana caranya untuk bisa survive dalam penetrasi politik yang bisa menggoyang kekuasaannya. Dengan demikian penggunaan force dianggap sah sebagai senjata untuk menekan sebuah cara untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas pemerintahan Negara. Pandangan Machiavelli akan sifat alamiah manusia akan ketamakan, kerakusan dan ambisi membawa pengaruh pada sistem politik dibatasi untuk terlibat pada violent struggle for domination. Otoritas politik penguasa diperlukan untuk membangun stigma fear yang lebih kuat di masyarakat.
Penulis melihat bahwa pemikiran politik Machiavelli yang berusaha dibangun cenderung memfokuskan diri pada national security yang bagi sebagian penguasa digunakan sebuah alasan untuk melegitimasi otoritas politiknya agar tetap berkuasa. Konsep national security hendak dibangun atas dasar kehidupan harmonis, aman, dan stabil dalam suatu Negara terutama untuk kepentingan rakyat. Jika pada akhirnya tatanan pemerintah membangun sebuah konsep fear murni untuk stabilitas keamanan nasional maka sistem dunia akan lebih focus pada sebuah perimbangan kekuatan (Balance of Power) untuk mewujudkan stabilitas keamanan internasional.
Akan tetapi tawaran Machiavelli dalam menggunakan kekerasan dalam mempertahankan stabilitas pemerintahan suatu Negara dengan menekan aksi mass movement demonstration tidak menjamin sebuah stabilitas, justru menjerumuskan Negara pada titik yang kacau balau seperti contoh beberapa kasus di Timur Tengah. Machiavelli tidak menawarkan sebuah solusi alternative ketika kondisi rakyat telah mencapai great mass depression. Keputusan tersebut hanya akan memakan korban banyak yang notabene rakyatnya sendiri. Pemahaman sepihak oleh penguasa dalam memahami pemikiran Machiavelli bias saja merusak citra seorang penguasa yang berujung pada depresi sosial.
Sebuah kesalahan besar jika pada akhirnya para penguasa gagal menafsirkan pemikiran Machiavelli pada konteks jaman sekarang. The Prince merupakan sebuah jawaban atas kegelisahan para raja di Italia pada waktu itu untuk menciptakan situasi kondusif dan stabil demi pencapaian pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi yang kacau balau baik dari segi politik, ekonomi, dan sosial pemikiran Machiavelli dalam The Prince menjadi sebuah kitab suci para raja karena memang dibutuhkan pada konteks jaman saat itu. Maka pada akhirnya diberlakukan pada saat sekarang dengan system dunia yang cenderung anarchy justru akan menimbulkan perpecahan dan kekacauan yang besar jika tidak benar-benar memahami pokok pikiran Machiavelli. Bahkan orang-orang cenderung mengabaikan karya Machiavelli yang berikutnya yakni Discorsi yang lebih menjawab tentang sketsa masa depan sebuah pemerintahan ideal dengan mengutamakan rakyat sebagai pemegang singgasana kekuasaan dalam pemerintahan Negara.
Posted by Unknown On 1/04/2013 01:43:00 AM


   Sebuah ketakutan masyarakat global mulai terjadi dalam periode yang sangat lama ketika identitas kebangsaan mulai tergerus oleh eksistensi kebudayaan asing dalam negerinya sendiri. Fenomena yang unik dan sangat menarik. Peperangan abad 21 sekarang tidak lagi bergerak pada sebuah aktivitas fisik antar negara. Perlombaan senjata dan peperangan langsung tidak lagi menjadi jaminan untuk memenangkan sebuah kejayaan besar. Kebudayaan (culture)menjadi instrumen paling mutakhir dalam abad 21 ketika senjata tak lagi berdengung di telinga masyarakat dunia. Keberadaan culture sebagai perangkat diplomasi dalam ruang lingkup hubungan internasional telah menjadi sebuah pembuktian baru yang bergelak perlahan tapi pasti. Adapun diplomasi kebudayaan, tulis Joseph S Nye Jr dalam buku Soft Power: the Means to Success in World Politics, merupakan perangkat untuk menebar kekuatan lunak atau soft power. Berbeda dengan hard poweryang menggunakan paksaan dalam bentuk militer atau kekuatan ekonomi, soft power menciptakan kesepahaman dan pengertian akan nilai-nilai suatu negara. Culture  telah menyediakan hidangan yang luar biasa kepada masyarakat Global ketika orang mulai merasakan kejenuhan dalam pergaulan internasional yang cenderung statis. Korea Selatan menjadi negara yang memiliki andil besar dalam proses penjamuan hidangan besar dalam hiruk pikuk permasalahan global yang sifatnya high-politics. Bergeraknya Korsel sebagai penyaji hiburan masyarakat global tentu saja telah mengundang kepedulian dan respect yang luar biasa bagi para penikmatnya yang tersebar di hampir seluruh negara di dunia. Diplomasi kebudayaan dianggap sukses, pertarungan eksistensi yang dipandang orang-orang realis yang cenderung menggunakan hard-power tidak menjadi jaminan. Kekuatan besar sedang dibangun untuk membangun koalisi besar bersama pecinta kebudayaan Korea Selatan. Proses transformasi budaya berjalan secara pasti oleh karena keberhasilan diplomasi kebudayaan, yang menurut Milton C. Cummings, seorang pengamat dari Institute for Cultural Diplomacy adalah:
“The exchange of ideas, information, values, systems, traditions, beliefs, and other aspects of culture, with the intention of fostering mutual understanding”
    Budaya adalah salah satu bentuk diplomasi yang berguna untuk membangun saling kesepahaman dengan negara asing. Di dalamnya sedang berlangsung berbagai macam aktivitas baik itu pertukaran ide, informasi, nilai, tradisi, kepercayaan,  dan aspek budaya-budaya lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lain.

  Inilah menjadi pertanyaan besar, apa sebenarnya yang membuat Korea Selatan bisa melakukan transendensi kebudayaan dengan begitu pesatnya dalam dunia global? Proses pelampauan yang sangat cepat dan baik sedang berlangsung dengan skenario besar yang teratur.
     Sebelum membahas tentang kebudayaan Korea Selatan lebih jauh, sebaiknya kita melirik terlebih dahulu makna kata Transendensi. Transendensi yang digunakan bukanlah sebagai sebuah makna terminologis filsafat yang lebih mengarah pada konsep teologi dan spiritualitas ataupun bersifat ketuhanan, namun lebih pada makna etimologi yang dalam bahsa latinnya berarti ‘naik ke atas’ atau bisa dikatakan melampaui, pelampauan.
    Perbincangan mengenai Korea pada zaman sekarang pasti akan mengarah pada satu sudut pandang yakni, Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave merupakan sebuah penamaan dari kebudayaan Korea yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini. Hallyu mulai digemari oleh penduduk Asia mulai sekitaran tahun 1990an terutama di China, Jepang dan beberapa kawasan Asia Tenggara. Berawal dari industri hiburan yakni K-Pop dan K-Drama yang mengawali era kebudayaan Korea di kancah internasional. Jika mengacu pada definisi M. Cummings tadi maka kemudian suksesi Korea dalam industri hiburan turut mengikutsertakan nilai, pola hidup, kehidupan sosial, sistem dan tradisi serta kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Korea mulai dinikmati oleh masyarakat global. Proses inilah yang disebut sebagai koreanization. Bahkan hal ini juga turut membawa dampak positif bagi industri fashion, teknologi, maupun otomotif di Korea Selatan. Tingginya permintaan atas barang-barang elektronik buatan Korea di beberapa negara di dunia menjadi pembuktian atas skenario besar yang dirancang untuk menguasai peradaban manusia.
    Kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi telah mengangkat derajat negara Korea dari sebuah kungkungan masa lalu yang memaksa mereka menyerah pada Cina dan Jepang. Hasrat ingin menjadi sebuah kekuatan baru di Asia dengan sedikit terinsipirasi dari Confusianisme China dan sedikit mengabaikan sensasionalisme Barat telah mendegradasi dominasi yang cenderung keras oleh dunia barat. Dengan kemasan yang lebih menarik dan indah, distorsi kebudayaan menjadikan Hallyu menjadi sesuatu yang mudah untuk diterima dan diserap. Tidak dapat dinafikan budaya Pop Korea adalah sebuah proyek globalisasi yang berusaha membangun citra positif Korea Selatan di mata Internasional sehingga menimbulkan ketertarikan dan keingintahuan lebih lanjut untuk mempelajari tentang kebudayaan Korea Selatan lebih dalam. Pencitraan memang menjadi faktor penentu suatu negara untuk mendapatkan kerpcayaan dunia internasional. Adapun pengertian pencitraan menurut Aleksius Jemadu adalah:
Upaya suatu bangsa untuk mendefinisikan dirinya baik kepada rakyatnya sendiri maupun dalam pergaulan internasional dengan menonjolkan keunggulan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan tujuan untuk menciptakan pengaruh internasional yang sangat diperlukan untuk pencapaian tujuan politik luar negeri dan diplomasi secara umum.

The Rising of New Cultural Capitalism in Asia
    There is No Power without Power, Tidak akan ada sebuah kekuasaan tanpa kekuatan dibaliknya. Berdasarkan data Bank of Korea pada 2011, nilai ekspor hallyu mencapai US$794 juta. Tentu saja ada peran dan turut campur tangan negara di dalamnya sebagai aktor penentu kebijakan. Dalam diplomasi kebudayaan akan selalu ada peran negara dalam suksesi ekspansi kebudayaan negara tersebut, hal ini yang kemudian tertulis jelas dalam pengertian diplomasi kebudayaan menurut Prof. Tulus Warsito, guru besar studi hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, melalui dimensi kebudayaan, baik itu secara mikro, seperti pendidikan, olahraga, ilmu pengetahuan dan juga kesenian, ataupun secara makro seperti propaganda, dan lain-lain, yang dalam pengertian konvensional dapat dianggap sebagai bukan politik, ekonomi ataupun militer.
    Jalan Korea Selatan untuk memasuki dan menguasai peradaban manusia melalui diplomasi kebudayaan didukung sepenuhnya oleh berbagai elemen masyarakat Korea Selatan sebagai pembuktian diri. Jika pada akhirnya akan melibatkan aktor non-negara dalam proses diplomasi maka bisa disimpulkan bahwa proyek globalisasi ini cenderung bersifat multi-track diplomacy, adalah diplomasi multipelaku, yaitu dengan banyak cara dan jalur, tidak hanya mengandalkan aktor negara (Pemerintah) secara langsung akan tetapi dapat pula dilakukan oleh aktor non-negara, seperti pelaku bisnis industri musik K-pop hingga keterlibatan para selebritis ataupun masyarakat secara umum serta media dalam menjalankan soft diplomacy melalui K-pop di berbagai negara. Memang tidak bisa dipungkiri, hadirnya industri-industri besar di balik panggung kesuksesan Korsel menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Berbagai macam dukungan pemerintah mengenai keberhasilan ini dilakukan berbagai macam baik itu investasi besar-besaran dalam industri hiburan, promosi, maupun kebijakan pemerintah yang pro industrialisasi kebudayaan.
    Berdasarkan “Cultural Industry White Paper 2003” yang diterbitkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea Selatan, ukuran pasar industri budaya Korea diperkirakan sekitar $ 350 miliar, yang merupakan 6,6% dari GDP Korea. Jumlah orang yang diharapkan untuk terlibat dalam industri budaya di Korea ini berkembang pesat dan diperkirakan akan mencapai 200.000 orang pada tahun 2008, pada saat yang bersamaan diharapkan nilai barang yang diekspor budaya akan mencapai satu miliar dolar AS. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Lee Chang-dong, menyatakan bahwa Korea harus terlebih dahulu membangun infrastruktur budaya yang lebih kuat untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari $ 1,4 Triliun di industri budaya global. Federasi Industri Korea juga menekankan perlunya bagi para pengusaha untuk terlibat dalam proyek bisnis kebudayaan tersebut.
    Bahkan Norimitsu Onishi, seorang koresponden New York Times melaporkan bahwa sekitar 80 persen dari wisatawan Taiwan ke Korea Selatan memilih televisi bertema wisata, mengunjungi tempat-tempat di mana drama favorit mereka difilmkan (New York Times, 28 Juni 2005).
Pada tanggal 9 Mei 2012 langkah bijak dilakukan pemerintah Korsel dalam memperbaiki sistem industri hiburan dalam negerinya dengan keturutsertaan pemerintah melalui Kementrian budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan dalam kasus agensi entertainment palsu yang muncul, menipu para pemuda/i yang bermaksud mewujudkan mimpi mereka. Kementrian akan bekerja sama dengan Asosiasi Managemen Entertainment Korea untuk membuat sebuah databse yang berisikan informasi dasar agensi-agensi seperti jumlah staf dan public figure yang mereka kelola. Agensi-agensi harus memasukkan bukti yang membuktikan bahwa mereka memiliki aset yang cocok untuk menjalankan bisnis ini bersama dengan sebuah gedung kantor yang didaftarkan atas nama mereka.
    Berdasarkan Laporan penelitian dari Samsung Economic Research Institute (2005) mengenai dampak ekonomi dari Korean Wave yang berjudul "The Korean Wave Sweeps the Globe," mengklasifikasikan laporan negara-negara yang mengimpor budaya pop Korea menjadi empat tahap, dalam hal pola mereka mengkonsumsi produk budaya Korea. Tahap pertama adalah hanya menikmati budaya pop Korea, dan ini diterapkan di Mesir, Meksiko dan Rusia. Tahap kedua melibatkan membeli produk-produk terkait yang berkaitan dengan K-Pop dan K-Drama seperti poster, items-character, dan wisata yang pada umumnya terjadi di Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Tahap ketiga adalah tahap konsumsi segala produk "Made in Korea" yakni China dan Vietnam. Tahap akhir mencerminkan perkembangan preferensi umum untuk budaya Korea itu sendiri. Menurut laporan itu, tidak ada negara-negara yang termasuk dalam kategori ini. Laporan ini mendesak pengembangan tinggi "konten" kualitas dengan lebih memperhatikan "strategi pemasaran," seperti "pengembangan konten."
    Bisa kita bayangkan Jika Korean Wave terus melonjak maka akan mencerminkan hubungan diplomatik yang mendukung logika kapitalis daripada penguatan kekuatan komunikatif masyarakat sipil untuk memberikan kemungkinan diversifikasi selera budaya massa. Hal ini tentu saja menjadi sebuah perlawanan keras terhadap etnosentrisme China dan nasionalisme Jepang yang selalu menjadi poros terdepan kemajuan Asia Timur. Saat ini, sulit untuk menggambarkan kritik keras terhadap Korean Wave, yang digembar-gemborkan sebagai “The Beat of Victory”. Korean Wave bukan hanya sebuah fenomena domestik saja namun telah menjadi the phenomenon of capitalism’s rise in Asia yang mengancam industri negara-negara tetangganya seperti China dan Jepang.

Korean Wave and Korean War.
    Jika berbicara lebih lanjut mengenai Korea secara historis, maka kita akan dihadapkan pada suatu proses romantisme menarik yang saat ini masih menjadi sengketa dan problematika Internasional yakni Korean War. Perang fisik di teluk Korea berlangsung cukup lama sejak dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, yang hingga kini sengketa kedua negara masih berlanjut namun belum mengarah pada pertempuran fisik lagi. Jika dijelaskan tentang periode perang yang berlansung akan membutuhkan banyak abjad untuk bercerita baik itu mengenai pertempuran Incheon, Proxy War, Pertempuran Chosin, dan seterusnya. Kita hanya menarik satu sudut pandang menarik yang coba dijabarkan mengenai korelasi antara Korean War dan Korean Wave. Akan ada beberapa penjabaran yang cukup menarik tentang sebuah implikasi perkembangan Korean Wave terhadap Korean War.

1. Global mass is a great weapon
    Korean Wave sebagai sebuah proses yang lahir dari konsep diplomasi kebudayaan tidak hanya mendatangkan banyak materi. Korean Wave menjadi sebuah pertunjukkan teatrikal menarik saat di panggung dunia, industrialisasi kebudayaan yang berujung pada konsep kapitalisme budaya menjadikannya sebagai global mass consumption. Masyarakat dunia akan lebih memfokuskan diri pada perkembangan K-Pop. Bagaimana tidak, tokoh atau artis yang mengidolakan seakan telah menjadikan mereka budak ketika di hadapkan pada pusara industri hiburan. Simpati dan kepedulian berdatangan secara massal saat fanatisme menjadi sebuah dogma yang menggerakkan pola kehidupan masyarakat global. Tidak dipungkiri bahwa fanatisme yang cenderung hiperbolik inilah yang nantinya menjadi kekuatan terbesar Korea Selatan menghadapi kemungkinan yang terjadi dengan Korea Utara. Aliansi massa global yang terbentuk atas dasar fanatisme yang sama menjadi kekuatan terbesar. Jika saja Perang Korea kembali terjadi, maka akan terjadi gejolak di beberapa negara yang masyarakatnya kebanyakan sangat mengidolakan artis-artis Korsel. Adanya wajib militer yang diharuskan pemerintah Korsel terhadap laki-laki mewajibkan setiap orang termasuk artis dalam pertempuran yang terjadi nanti. Demonstrasi bisa saja terjadi di beberapa negara yang dilakukan oleh para fans. Kekuatan massa tentu saja bisa mengubah kebijakan negara hingga bahkan mengeluarkan keputusan untuk membantu Korsel dalam perang. Bisa dikatakan kekuatan para fans budaya Korea Selatan menjadi aset penting dalam proses pengambilan arah kebijakan suatu negara. Jika sudah pada titik fanatisme yang sangat tinggi, simpati bergerak sangat cepat, mereka tidak ingin kehilangan sebuah genre hiburan yang membuat mereka lebih baik dan nyaman.
2. The Circle of Capitalism, merebut simpati Cina.
     Lingkaran kapitalisme akan selalu terjaga sebagai sebuah keutuhan untuk bisa saling menguntungkan. Jika ada satu bagian yang hilang, maka lingkaran itu akan berubah dan berdampak buruk bagi yang lainnya. Korea Selatan yang telah menjadi negara demokrasi telah melangsungkan aktivitas kapitalisme besar dalam hal kebudayaan, teknologi maupun otomotif. Kita melihat negarqa-negara yang menitikberatkan pada kapitalisme pasar seperti Cina, Jepang dan Amerika Serikat tentu saja tidak ingin kehilangan kesempatan dalam memperoleh keuntungan. Cina yang secara ideologi lebih condong kepada Komunis yang juga dianut oleh Korea Utara masih mempertahankan sistem nilai tersebut dalam proses bermasyarakat, namun di sisi lain Cina pun mengamini kapitalisme dan liberalisme pasar menjadi jalan terbaik untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Orang akan berpikir bahwa kepentingan China di Korea Utara cukup besar, namun kita tidak bisa mengabaikan seberapa kuatnya hubungan China dengan Korea Selatan. Korean Wave memang telah tersebar di hampir seluruh kawasan Asia namun kesuksesan terbesarnya ada di negara Cina. Cina dianggap sebagai negara paling sukses untuk proses persebaran Korean Wave. Menurut sebuah artikel di media massa Korea menyebutkan bahwa Orang Cina merasa lebih dekat budaya Korea berkat budaya pop korea gaya K-Pop nya,  meskipun jika mereka belum pernah ke negara. Selain itu, artikel lain mengatakan bahwa Republik Korea (ROK) dan Cina telah mempererat hubungan kerjasama mereka di bidang politik, ekonomi, budaya dan pendidikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut statistik resmi yang dipublikasikan ROK pada akhir tahun lalu, Cina menjadi peringkat nomor satu dalam perdagangan tahunan negeri Korea. ROK juga menjadi mitra dagang eksklusif terbesar ketiga China. Kerjasama politik dan ekonomi telah menyebabkan pertukaran warga dan lalu lintas wisata antara kedua negara. Perkembangan Korean Wave di Cina meerupakan pertanda akan masa depan yang cerah bagi hubungan bilateral Cina dan Korea. Karena permintaan yang luar biasa dari budaya pop Korea di Cina, Korea berhasil memasuki pangsa pasar yang besar.
    Cina yang dianggap sebagai tameng terkuat bagi Korea Utara belum menjamin adanya bantuan untuk Korut jika perang berlangsung. Negara sebagai Rational Actor akan cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan. Rational choice menjadi sebuah pertimbangan dan mungkin saja akan mengubah segala kemungkinan yang seharusnya terjadi.

Pustaka:
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MzA2Nzkx
http://dwialatief.blogspot.com/2012/03/hallyu-korea-sebagai-diplomasi.html
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/08/diplomasi-budaya-dalam-menciptakan-perdamaian-dunia/
http://kpopfreak.com/2012/10/news/pemerintah-korea-ikut-campur-tangan-untuk-mencegah-para-agensi-entertainment-dalam-menipu-para-trainee-nya
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184313-pengertian-transendensi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea#Akhir_perang
Joseph Nye, 2005, Soft Power: the Means to Success in World Politics cetak indonesia, United States : PublicAffairs
Tulus warsito dan Wahyuni Kartikasari, 2007, Diplomasi Kebudayaan Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang; Sudi Kasus Indonesia, Yogyakarta: Ombak
Cho Hae Jong, Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift
Sue Jin Lee, The Korean Wave: The Seoul of Asia

Posted by Unknown On 1/04/2013 01:31:00 AM

Kemarin ibuku menemu rindu, 
di serpihan-serpihan waktu yang telah berdebu. 
Aku bermain gundu, 
Ibu memelukku dengan syahdu. 
Hujan menetes dari sudut matanya yang sayu, 
aku jatuh di pelukan Ibu.

-Rindu Ibu, Alfian Putra Pikoli,-
Posted by Unknown On 1/04/2013 01:25:00 AM

PELUH, Petani tak kenal Keluh

Kisah seberang di pematang ladang,
meniduri petang yang menemukan terang.
Dia replika cakrawala, penunggu nusantara.
Pemusik yang memetik awan menjadi simfoni yang bersendawa.

Tak pernah mati, jika nyalinya masih berdiri.
Tangis yang meringis dan keringat yang bersyafa'at.

Bukanlah Punggawa pandai bersandiwara,
Tak jua Jawara senyum tertawa,
Lebam di sengat matahari,
Tenggelam dalam lumpur kali,
Dua tangan merengkuh dahaga,
Merangkul lapar si perjaka manja.

Ladang, adalah medan berperang.
Bukan kasta tirani, kursi para kurcaci.
Dia......
SAUDAGAR, Sarjana Ilmu Dahaga dan Lapar.

                      ------
Alfian Putra Pikoli
Jogja 1-1-2013