oleh : Alfian Putra Pikoli
Sebuah
arah pemikiran politik yang berusaha ditawarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam
bukunya The Prince merupakan kumpulan
gagasan dari sebuah realita yang sedang berlangsung di Italia yang saat itu
terdiri dari beberapa kerajaan kecil. Bisa dikatakan bahwa tuangan pemikiran
Machiavelli dalam The Prince
didasarkan atas situasi kacau di Italia saat itu. Sebuah pemikiran menarik yang
memaksa penulis untuk mengetahui tentang ketersiratan makna sebuah legitimasi kekuasaan
rakyat ala seorang Machiavelli.
Strong
Political Passion
(Hasrat Politik yang kuat)
Machiavelli
dianggap sebagai seorang pemikir yang mengagung-agungkan militerisme menjadi
jalan terbaik untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Machiavelli melihat
praktek politik nyata dari suatu negara pada tingkah laku penguasa dalam
merebut kekuasaan dari rezim lama, yang kalau perlu menggunakan kekerasan dan
kekuatan (militer) untuk mempertahankan kekuasaan. Bila ada peluang dan
kesempatan, maka perlu memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan
bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum
kekuasaan merosot dan hancur karena muncul dan bangkitnya rezim baru yang
datang kemudian. Bahkan Machiavelli membenarkan penggunaan kekerasan untuk
menciptakan situasi kondusif dalam suatu kawasan kekuasaan. Machiavelli
menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti
dipersenjatai dengan baik.
Perdebatan
yang menarik dari sebuah akar legitimasi kekuasaan adalah ketika Machiavelli
memperbincangkan apakah seorang penguasa itu lebih baik dibenci atau dicintai.
Ia mengatakan bahwa orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus.
Tetapi lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah
satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang
mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan
dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak
pernah meleset. Logika “fear” yang
dihadirkan oleh Machiavelli tentu bukan tidak beralasan. Hal ini tentu saja
mengarah pada sebuah kecemasan penguasa bagaimana caranya untuk bisa survive dalam penetrasi politik yang
bisa menggoyang kekuasaannya. Dengan demikian penggunaan force dianggap sah sebagai senjata untuk menekan sebuah cara untuk
mempertahankan kekuasaan dan stabilitas pemerintahan Negara. Pandangan
Machiavelli akan sifat alamiah manusia akan ketamakan, kerakusan dan ambisi
membawa pengaruh pada sistem politik dibatasi untuk terlibat pada violent
struggle for domination. Otoritas politik penguasa diperlukan untuk
membangun stigma fear yang lebih kuat
di masyarakat.
Penulis
melihat bahwa pemikiran politik Machiavelli yang berusaha dibangun cenderung
memfokuskan diri pada national security yang
bagi sebagian penguasa digunakan sebuah alasan untuk melegitimasi otoritas
politiknya agar tetap berkuasa. Konsep national
security hendak dibangun atas dasar kehidupan harmonis, aman, dan stabil
dalam suatu Negara terutama untuk kepentingan rakyat. Jika pada akhirnya
tatanan pemerintah membangun sebuah konsep fear
murni untuk stabilitas keamanan nasional maka sistem dunia akan lebih focus
pada sebuah perimbangan kekuatan (Balance of Power) untuk mewujudkan stabilitas
keamanan internasional.
Akan
tetapi tawaran Machiavelli dalam menggunakan kekerasan dalam mempertahankan
stabilitas pemerintahan suatu Negara dengan menekan aksi mass movement demonstration tidak menjamin sebuah stabilitas,
justru menjerumuskan Negara pada titik yang kacau balau seperti contoh beberapa
kasus di Timur Tengah. Machiavelli tidak menawarkan sebuah solusi alternative
ketika kondisi rakyat telah mencapai great
mass depression. Keputusan tersebut hanya akan memakan korban banyak yang
notabene rakyatnya sendiri. Pemahaman sepihak oleh penguasa dalam memahami
pemikiran Machiavelli bias saja merusak citra seorang penguasa yang berujung
pada depresi sosial.
Sebuah
kesalahan besar jika pada akhirnya para penguasa gagal menafsirkan pemikiran
Machiavelli pada konteks jaman sekarang. The
Prince merupakan sebuah jawaban atas kegelisahan para raja di Italia pada
waktu itu untuk menciptakan situasi kondusif dan stabil demi pencapaian
pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi yang kacau balau baik dari
segi politik, ekonomi, dan sosial pemikiran Machiavelli dalam The Prince menjadi sebuah kitab suci
para raja karena memang dibutuhkan pada konteks jaman saat itu. Maka pada
akhirnya diberlakukan pada saat sekarang dengan system dunia yang cenderung anarchy justru akan menimbulkan
perpecahan dan kekacauan yang besar jika tidak benar-benar memahami pokok
pikiran Machiavelli. Bahkan orang-orang cenderung mengabaikan karya Machiavelli
yang berikutnya yakni Discorsi yang
lebih menjawab tentang sketsa masa depan sebuah pemerintahan ideal dengan
mengutamakan rakyat sebagai pemegang singgasana kekuasaan dalam pemerintahan
Negara.
0 komentar:
Posting Komentar