Oleh : Alfian Putra Pikoli
Francis
Fukuyama, seorang pemikir Amerika dalam hampir tiga dekade yang lalu memberikan
pernyataan bahwa umat manusia saat ini telah memasuki zaman “The End of
Ideology”. Dalam memahami konteks zaman seperti itu beberapa tokoh sosial
Indonesia mulai mengamini hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan tanpa upaya
kritis untuk memaknainya. Jika melihat ke belakang, hampir bisa dipastikan
kebangkitan negara-negara besar di dunia juga merupakan sebuah kebangkitan
Ideologi pada sekitaran abad 20an. Uni Soviet dengan "Marxisme,
Materialisme-Historis", China dengan "Nasionalisme, Demokrasi, dan
Sosialisme", Jepang dengan "Tennoo Koodoo Seishin", dan Jerman
dengan "Sosialisme Nasional". Banyak yang beranggapan bahwa
keruntuhan ideologi masing-masing bangsa akan terjadi. Bangsa akan menggadaikan
ideologinya sendiri demi sebuah pragmatisme kapital yang kemudian dianggap sah
secara konstitusi. Ideologi sebagai rangkaian gagasan dan nilai terkait
masyarakat yang dicita-citakan bersama, tentu akan terus ada. Mungkin ada
beberapa artefak budaya mengalami kepunahan ataupun musnah ditelan masa, akan
tetapi sesungguhnya gagasan-gagasan dan nilai-nilai terkait dengan masyarakat
yang dicita-citakan bersama itu bermetamorfosa dalam rumusan, bentuk, wujud dan
karakter simbolik yang berbeda. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari asumsi
bahwa ideologi akan berakhir dengan ketiadaan perang ideologi, merupakan salah
satu bentuk agitasi ideologis agar kita menyerah kepada ideologi asing yang
dengan berbagai alat ideologisnya secara pelan dan pasti merasuki cara
berpikir, bersikap, dan bertindak rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebuah gemuruh perubahan yang terjadi pada generasi bangsa tanpa
hiruk pikuk dan gegap gempitanya letusan senjata.
Konstruksi Nasionalisme Indonesia
Momentum
Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni dianggap sebagai momentum yang
sakral bagi penduduk Indonesia karena pada saat itulah identitas nasionalisme
Indonesia mulai dikonstruksikan sebagai ideologi bersama. Hal ini dianggap
menjadi idealisme yang sejatinya bisa merekatkan berbagai elemen-elemen yang
berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia, baik itu
meliputi budaya, bahasa, suku, ras maupun agama. Realitas yang berkembang pada
zaman sekarang mulai bertentangan dengan idealitas masa lalu. Adanya
kontradiksi yang sengaja dibenturkan sebagai wadah pengeliminasian jati diri
bangsa. Konstruksi pemahaman nilai-nilai nasionalisme digerus habis oleh
hadirnya tawaran ideologi dunia yang mengarah pada aktivitas globalisasi
sehingga mengantarkan penduduk Indonesia pada proses alienasi ideologi
Pancasila yang sebenarnya.
Konsep
Pancasila dengan kredo “Bhineka Tunggal
Ika” yang artinya “berbeda-beda tetap satu” telah dianggap sebagai sebuah
manifestasi nyata idealisme Bangsa yang mengarah pada nasionalisme. Realitasnya
Nasionalisme dari hari ke hari dirasakan semakin absurd. Absurditas ideologi
memang tidak hanya menerpa nasionalisme. Namun, hanya nasionalismelah yang
sejak kelahirannya mengandung kontradiksi, kontroversi dan ironi. Harus diakui
secara jujur, nasionalisme bukanlah ideologi yang dilahirkan dari Bangsa
Indonesia. Ideologi itu pertamakali muncul dari kawasan Eropa Barat. Pada awal
kemunculannya, nasionalisme selalu dikaitkan dengan pencerahan yang
melatarbelakangi hadirnya negara bangsa modern, namun dalam perjalanannya,
gagasan itu justru membawa kegelapan bagi bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan ketika kehadirannya bermanifestasi dalam wujud
kolonialisme-imperialisme. Indonesia sebagai negara-bangsa yang juga telah
didewasakan oleh proses kolonialisme-imperialisme. Konspirasi besar antara
penjajah kolonial dan penguasa feodal pribumi telah memberikan jalan gelap yang
panjang bagi penduduk Indonesia pada zaman itu. Semangat dan gagasan
nasionalisme saat itu menjadi senjata ampuh untuk melucuti kekuatan penjajah
kolonial di tanah nusantara. Kendati eksistensi Pancasila sempat diperdebatkan
(bahkan sempat dilupakan) sebagai suatu ‘kekuatan’ dan ‘pemersatu’ nilai-nilai
nasionalisme anak bangsa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini, namun
faktanya Pancasila tetap saja diharapkan sebagai kekuatan baru mempersatukan
bangsa yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan arah.
Melihat fenomena kolonialisme-imperialisme
yang melanda Indonesia, bisa dipastikan hadirnya nasionalisme sebagai merupakan
sebuah ideologi perlawanan terhadap hadirnya penjajah asing di Indonesia yang
terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam dan memarginalkan sumber daya
manusia Indonesia. Bisa dipastikan bahwa nasionalisme Indonesia mengandung
muatan campur aduk antara perasaan anti asing yang oleh Nietszche dinamakan ressentiment yang direpresentasikan
dalam pemerintahan kolonial, romantisme kolektif terhadap masa lalu yang agung
atau diagung-agungkan serta heroisme terhadap masa depan dalam wujud cita-cita
menuju kemerdekaan dan kemakmuran bersama. Dengan demikian, dapat dipahami jika
Bung Karno dalam mengawali konstruksi nasionalisme Indonesia, lebih dulu
berbicara tentang bangsa sebagai ikatan spiritual yang dijalin atas dasar
perasaan senasib sebagai pihak terjajah serta kehendak mewujudkan kemerdekaan
sebagai jalan menuju kemakmuran bersama. Dalam mengkonstruksi nasionalisme
Indonesia, Bung Karno juga menyelipkan sentimen primordial dan romantisme masa
silam yang pernah dimiliki sebagian komunitas rakyat. Nasionalisme yang
diarahkan Soekarno dianggap mengarah pada sosialisme. Gagasan beliau
dikenal dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang ia tulis tahun
1932, Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung
inti dari sosio-nasionalisme yang ia rumuskan :
“Nasionalisme
kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri
keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita
haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah
nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata, Nasionalisme kita,
oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami
sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah
demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”.
Dalam
ungkapan tersebut bisa dianalisis bahwa nasionalisme yang dimaksudkan Soekarno
merupakan sebuah ideologi bersama yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan umat bersama bukan hanya sekedar mengagung-agungkan nama
Indonesia di mata Internasional, apalagi mengarah pada hal-hal yang bersifat
chauvinisme.
Wajah Nasionalisme Masa
Kini
Kemenangan
liberalisme sebagai paham yang menduduki singgasana percaturan ideologi di
dunia mulai menafikan keberadaan ideologi lain di berbagai bangsa. Proses
pendistribusian dilakukan melalui sistem Kapitalisme global yang memaksa
negara-negara dunia ketiga untuk tunduk pada aturan yang diberlakukan rezim
internasional dengan dimotori oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Inggris, dan beberapa negara lainnya. Banalitas sistem dunia berusaha
memperkosa jati diri bangsa negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Berbagai
macam aktivitas berusaha ditawarkan mulai dari liberalisasi agama, budaya,
bahasa, sistem ekonomi, konstitusi, pendidikan bahkan kesehatan. Hal ini
dianggap sebagai tawaran akhir untuk mengatasi problematika suatu negara yang
semakin kompleks. Negara mengalami disfungsi peran sebagai aktor pembuat
kebijakan tidak lagi dipandang signifikan, melainkan berusaha diintervensi oleh
pihak ketiga demi pencapaian kepentingan.
Pengaruh
arus globalisasi telah menggerus aksen kebudayaan masyarakat Indonesia yang
semakin memarginalkan posisi nasionalisme. Arus globalisasi yang berkembang
pada era sekarang secara perlahan telah berhasil mentransfer kebudayaan asing
sebagai pilihan yang paling nyaman untuk menjalankan aktivitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Masuknya budaya asing seperti budaya Korea, budaya
Amerika, dan lain-lain. Seseorang dapat melihat melalui berbagai media
(Televisi, Radio, Internet) bagaimana orang-orang dan artis Korea atau
Amerika berpakaian, bagaimana mereka berperilaku, dan bagaimana mereka memiliki
gaya hidup tersendiri. Budaya K-Pop yang sekarang ini marak menjadi
perbincangan di kalangan remaja telah berhasil menghipnotis seantero dunia dan
Indonesiapun tidak ketinggalan. Di Indonesia, fenomena ketertarikan budaya
Korea yang berawal dari kebiasaan menikmati hiburan K-Pop perlahan tapi pasti
mulai dinikmati sebagai sebuah komposisi nyaman dalam beraktivitas sosial. Dari
cara berpakaian, berdandan, berbicara menjadi trending topic di kalangan remaja Indonesia. Bahkan musik-musik dan
film-film asal negeri ginseng telah berhasil menghipnotis rakyat Indonesia baik
dari segi berpakaian, perawakan, maupun ketampanan dan kecantikan para
artisnya. Hal ini juga berimbas pada industri musik dan perfilman. Korea
mendadak menjadi kiblat industri hiburan tanah air tersebut. Musik ala korea
dengan konsep boyband dan film yang
bergenre romantika, hal-hal mengenai percintaan, dan kasih sayang. Hal ini
membuktikan bahwa nilai besar di bangsa Indonesia telah mulai diabaikan.
Minimnya film-film yang mengangkat citra kebudayaan Indonesia dan karakter film
Indonesia yang cenderung monoton hanya menciptakan sikap skeptis terhadap film
Indonesia. Namun, tidaklah elok jika menggunakan logika generalisasi terhadap
fenomena ini karena masih ada sebagian besar penduduk Indonesia senang
menikmati perfilman dalam negeri.
Percaya
tidak percaya keadaan ini mengakibatkan aktivitas hedonisme generasi muda
Indonesia meningkat. Pembicaraan dalam tataran sosial masyarakat berkisar pada
pola kehidupan modern yang berikutnya menjadi trending adalah apa (fashionism,
gadgetism dan lain-lain), bukan tentang eksistensi budaya Indonesia apalagi
berbicara tentang masa depan Indonesia ke depan. Proses antipati sedang
berlangsung sebagai soft movement
evolution baik itu terhadap budaya lokal, politik dalam negeri bahkan
kepedulian antar sesama warga negara.
Pada
akhirnya warga Indonesia harus memutuskan rasa kebangsaannya untuk harus
dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang
lalu. Nasionalisme yang harus
dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua
permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani
melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Tapi ada
sebuah trend yang nampak bahwasanya slogan-slogan nasionalisme kini hanya
menjadi pengobar semangat yang semakin semu seiring semakin rasionalnya (dan
mungkin juga pragmatisnya) masyarakat dunia.
Era
globalisasi yang terus menggerus berbagai sisi kehidupan, paling tidak dapat
diperhambat (diperluntur) sisi negatifnya dengan menjadikan Pancasila sebagai perisai
dan Nasionalisme sebagai bangunan kokoh
yang akan terus mempersatukan rakyat Indonesia dalam satu naungan besar
kedigdayaan bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.